Lebah Trigona merupakan salah satu spesies lebah penghasil madu yang masuk dalam Famili Meliponidae yakni tidak memiliki sengat. Lebah jenis ini masih kurang populer dalam hal menghasilkan madu dibandingkan dengan Famili Apidae, misalkan spesies Apis mellifera yang merupakan lebah dari eropa dengan produksi madu rata-rata mencapai 30-60 kg per koloni pertahun. Spesies lain dari Famili Apidae ini yaitu Apis cerana yang merupakan lebah lokal dengan ukuran yang lebih kecil dari Apis mellifera mampu
menghasilkan madu sekitar 5 kg perkoloni pertahun. Adapun lebah Trigona
hanya sedikit mengasilkan madu sehingga jarang dibudidayakan (Sarwono,
2001). Akan tetapi lebah Trigona memiliki keistimewaan yaitu produksi
propolis yang tinggi mencapai 3 kg pertahun dibandingkan lebah genus Apis yang hanya menghasilkan 20-30 gram per tahun (Anonim, 2010).
Pada
satu dekade terakhir, propolis telah banyak menarik perhatian peneliti
karena beberapa karakteristik baik biologis maupun farmakologis seperti
immunomodulator, anti tumor, antimikroba, anti inflamasi, anti oksidan
dan lain-lain. Selain memang telah banyak produk yang mengandung
propolis dipasarkan secara luas oleh industry farmasi dan makanan
kesehatan (Sforcin, 2011).
Gambar 1. Propolis yang baru dipanen (Anonim, 2010)
Propolis
adalah material yang mengandung resin yang dikumpulkan oleh lebah dari
eksudat tanaman, yang diubah dengan adanya enzim pada tubuh lebah. Warna
propolis bervariasi dari hijau, merah dan coklat gelap. Propolis
memiliki ciri-ciri bau yang khas dan sifat adhesive karena sangat
lengket apabila bersentuhan dengan minyak dan protein pada kulit. Secara
umum propolis di alam terdiri atas 30% lilin, 50% resin, 10% minyak
essensial dan aromatic, 5% pollen dan substansi lain. Secara Etymologi,
kata propolis dalam bahasa yunani, pro berarti pertahanan, dan polis
berarti kota, sehingga dapat diartikan “pertahanan koloni”. Lebah
menggunakan propolis untuk menutup lubang pada sisiran sarang,
memuluskan dinding sarang bagian dalam, serta untuk menutup bangkai
makhluk asing yang mati di dalam sarang agar tidak terjadi pembusukan
(Sforcin dan Bankova, 2007).
Menurut
Prof. Mappatoba Sila, Guru Besar ahli Trigona dari Universitas
Hasanuddin, perbedaan struktur fisiologis lebah Trigona dengan genus Apis
yaitu tidak memiliki sengat, ternyata merupakan faktor yang menyebabkan
perbedaan kuantitas propolis yang dihasilkan. Lebah Trigona
mengkompensasi ketiadaan sengat dengan memproduksi propolis lebih banyak
sebagai mekanisme untuk mempertahankan diri. Propolis berfungsi
mensterilkan sarang dari organisme pengganggu seperti bakteri, cendawan
dan virus (Anonim, 2011a).
Selain
itu propolis yang dihasilkan oleh lebah Trigona memiliki kualitas yang
tinggi. Hal ini telah dibuktikan oleh Zainal Hasan, peneliti dari
Laboratorium Biokimia Institut Pertanian Bogor yang membuktikan kadar
flavonoid propolis Trigona mencapai 4%, sementara pada Apis
hanya 1,5%. Kadar flavonoid berpengaruh terhadap proses penyembuhan
penyakit dimana semakin tinggi kadar flavonoid maka semakin cepat
terjadinya penyembuhan. Zainal Hasan juga membuktikan efektifitas
propolis untuk menekan pertumbuhan berbagai jenis bakteri seperti Bacillus subtilis, Pseudomonas euroginosa dan Staphylococcus aureus
yang dapat menyebabkan infeksi pada tubuh manusia. Dengan demikian
propolis Trigona sangat bermanfaat apabila dikonsumsi oleh manusia
(Anonim, 2011a).
HABITAT ALAMI LEBAH TRIGONA
Trigona sp.
merupakan lebah yang banyak ditemukan hidup dan di negara dengan daerah
hutan tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina. Di Indonesia,
lebah ini memiliki banyak sebutan, antara lain lebah lilin, klanceng, lanceng (Jawa), gala-gala atau golo-golo (Sumatera Barat), teweul (Sunda), dan ketape atau kammu
(Sulawesi Selatan). Secara alami lebah trigona hidup dengan membuat
sarang di lubang-lubang pohon buah atau atau batang bambu yang digunakan
untuk menyangga pohon-pohon buah (Inoue, 1984). Arsitektur dan bahan
pembuat sarang lebah Trigona tergolong unik karena bila diamati
sarangnya terdiri atas batumen dan cerumen,
propolis, lumpur atau kapur serta kotoran hewan atau serat tanaman.
Selain hidup di batang pohon dan celah batu, lebah dapat pula bersarang
di kayu, tanah bahkan daun pintu yang terbuat dari kayu berlapis dua.
Pintu sarang umumnya sangat kecil sehingga hanya bisa dilewati oleh
seekor lebah, tetapi ada juga yang lebih besar. Biasanya di sekeliling
pintu sarang dilapisi campuran lumpur, tetesan resin, dan propolis
sehingga menyerupai bingkai.
Bagian interior sarang lebah trigona lebih rumit dibandingkan jenis Apis.
Sel untuk anakan, sel penyimpanan madu dan sel pollen berbeda bentuk,
ukuran dan letak. Sel anakan lebih kecil dengan ukuran dan bentuk yang
sama antara jantan dan betina, sedangkan sel ratu ukurannya lebih besar.
Sisiran sel untuk anakan tersusun horizontal dengan bahan sisiran yang
dibuat dari campuran resin tumbuhan.
Gambar 2. Bagian dalam sarang yang terlihat setelah bambu dibelah (Anonim, 2011b)
Pada
saat lebah aktif di dalam sarang, terjadi proses pemindahan nektar dari
lebah lapangan ke lebah rumah tangga dan diteruskan kepada lebah yang
lain sehingga disimpan di dalam sel. Nektar yang telah diperoleh
dikonsumsi bersama-sama. Lapisan lilin yang terbentuk umumnya menjadi
sangat keras sehingga tidak mudah hancur. Pada saat cerumen terbentuk maka involucrum
pada koloni juga akan terbentuk. Menurut Prof. Mappatoba, jumlah
trigona pada koloni yang sudah stabil sangat luar biasa yakni sekitar
100.000 ekor sedangkan pada koloni baru terdapat sekitar 10.000 ekor.
Pada setiap kelahiran lebah trigona rata-rata dihasilkan 10% anakan
calon lebah ratu.
INOVASI SARANG LEBAH TRIGONA
Karena
mudahnya untuk beradaptasi maka lebah trigona mudah untuk membuat
sarang di mana saja. Salah satunya dengan menggunakan bambu sepanjang 60
cm yang sudah dibelah menjadi dua bagian dengan kedua ujung bambu
tertutup oleh ruas. Hal ini yang dilakukan oleh Muhammad Harun, salah
seorang pemelihara lebah trigona di Desa Sigarpenjalin, Kabupaten Lombok
Utara, Nusa Tenggara Barat. Penggunaan bambu sebagai rumah lebah telah
umum dilakukan oleh peternak lebah di Lombok Utara. Bambu-bambu yang
telah berisi lebah disimpan dengan posisi horizontal pada sebuah rak.
Akan tetapi ketika sarang lebah akan dibuka untuk pemanenan, Muhammad
Harun mengalami kesulitan untuk membukanya karena propolis telah
merekatkan kedua belah bambu tersebut.
Gambar 3. Salah satu contoh sarang trigona dari bambu milik warga NTB (Foto: Irwan Aji, 2011)
Kesulitan
ini telah dialami oleh peternak lain yaitu Sukandar dari Desa Radda,
Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Berbekal
pengalaman beternak selama lebih dari 5 tahun, Sukandar dan
rekan-rekannya yang merupakan anggota kelompok Peternak Lebah Bee Son
mendesain sarang lebah yang lebih mudah dan praktis. Setelah beberapa
kali mencoba melakukan perubahan desain, ternyata ditemukan model rumah
trigona yang cocok. Tipe rumah vertical yang terdiri atas dua ruas.
Rumah lebah trigona ini disebut bandala yang terbuat dari kayu uru yang
kebetulan banyak tumbuh di daerah tersebut (Gambar 4).
Gambar 4. Inovasi sarang trigona dari kayu uru (Anonim, 2010)
Kelebihan
bentuk rumah vertical ini adalah kemudahan untuk membongkar satu per
satu ruas rumah ketika melakukan panen serta mudah untuk memasangnya
kembali. Selain itu desain vertical ini menyerupai kondisi rumah trigona
di alam yaitu ketika trigona membuat sarang di dalam lubang-lubang
pohon.
Sampai
saat ini Sukandar memiliki 50 bendala yang dari usaha tersebut bisa
menghasilkan minimal Rp. 5 juta per bulan, yang merupakan hasil
penjualan 30 kg propolis (Rp. 60 ribu per kg) dan 50 liter madu (Rp. 60
ribu per liter). Sukandar menjual propolisnya ke perusahaan di Makassar,
Sulawesi Selatan. Sedangkan madu yang diproduksi habis terjual di rumah
karena nama Sukandar sebagai penjual madu sudah terkenal di kalangan
penduduk sekitar.
Sebenarnya
Sukandar memiliki peluang untuk meningkatkan omset menjadi Rp. 60 juta
per bulan dengan adanya tawaran untuk ekspor ke Jepang. Namun belum bisa
dipenuhi karena sumberdaya lebahnya yang terbatas. Oleh karena itu
walaupun usaha ini terbilang mudah bahkan terkesan seperti tidak serius
namun ternyata cukup menjanjikan apalagi jika dilakukan dengan terus
mencari innovasi dalam hal teknis budidaya dan metode perkembangbiakan
koloni yang lebih efektif dan praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar